Apakah Hipertensi Membahayakan?

Penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) merupakan masalah kesehatan utama di negara maju maupun negara berkembang dan menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia setiap tahunnya. Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum dan paling banyak disandang masyarakat. Hipertensi disebut sebagai the silent killer karena sering tanpa keluhan, sehingga penderita tidak mengetahui dirinya menyandang hipertensi dan baru diketahui setelah terjadi komplikasi.

Data World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan sekitar 1,13 Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 miliar orang yang terkena hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 10,44 juta orang meninggal akibat hipertensi dan komplikasinya. Angka kematian hipertensi di Indonesia tahun 2016 sebesar 23,7 % dari 1,7 juta kematian. Berdasarkan Riskesdas 2018, sebanyak 63 juta lebih penduduk Indonesia  menyandang hipertensi.

Agar angka kejadian hipertensi dapat berkurang, sebagai tenaga medis, perlu untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat bahwa hipertensi dapat dicegah dan diobati. Untuk memahami lebih lanjut terkait hipertensi, berikut ini penjelasannya.


DEFINISI & KLASIFIKASI HIPERTENSI

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.

Dimodifikasi dari Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA. 2003;289:2560-2572.
Regulasi tekanan darah dipengaruhi oleh faktor hemodinamik dan refleks tekanan darah. 
1. Faktor Hemodinamik
Tekanan darah merupakan produk dari curah jantung (cardiac output) dan resistensi perifer total (RPT). Ada sedikitnya 4 sistem yang berpengaruh langsung terhadap regulasi tekanan darah yakni jantung yang menyuplai tekanan pompa, tonus pembuluh darah yang menentukan resistensi sistemik, ginjal yang meregulasi volume intravascular, dan hormone yang memodulasi fungsi dari ketiga sistem lainnya.
Pada ginjal yang berfungsi normal, kenaikan tekanan darah meningkatkan volume urin dan eksresi natrium yang akan mengembalikan tekanan darah menjadi normal. Studi saat ini menunjukkan setidaknya terdapat dua penyebab yang mungkin terjadi pada respons tersebut. Pertama, cedera mikrovaskular dan tubulointerstisial dalam ginjal penderita hipertensi yang mengganggu eksresi natrium. Kedua, defek yang terjadi pada faktor hormonal sebagai reaksi ginjal terhadap kadar natrium dan volume intravascular (seperti sistem renin-angiotensin).
Regulasi Tekanan Darah Sistemik
2. Refleks Tekanan Darah
Sistem kardiovaskular berperan dalam mekanisme timbal balik yang secara berkesinambungan mengatur tekanan arteri yang akan mendeteksi ketika tekanan menjadi sangat tinggi atau rendah dan kemudian memberi respons cepat terhadap perubahan tersebut. Salah satu mekanismenya adalah refleks baroreseptor yang dimediasi oleh reseptor pada dinding arkus aorta dan sinus karotis. Jika tekanan arteri meningkat, reseptor ini akan menerima rangsang berupa regangan dan deformasi arteri yang akan menstimulasi baroreseptor dan kemudian meningkatkan transmisi rangsangan ke sistem saraf pusat (seperti medulla). Respons balik negative akan dikirim kembali ke sirkulasi melalui sistem saraf otonom yang menyebabkan tekanan darah turun ke nilai awal. Efek utama mekanisme baroreseptor adalah memodulasi setiap variasi kejadian tekanan darah sistemik. Akan tetapi, reflex baroreseptor tidak termasuk dalam regulasi jangka panjang tekanan darah dan tidak dapat mencegah perkembangan hipertensi kronis. Hal ini dikarenakan baroreseptor selalu mengatur ulang dirinya sendiri. Setelah satu atau dua hari paparan ke tekanan darah yang lebih tinggi dari nilai dasar, laju baroreseptor akan melambat ke nilai kontrolnya dan nilai pengaturan yang baru akan ditetapkan.

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hipertensi primer/ esensial dan hipertensi sekunder.
1. Hipertensi Primer
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB).



FAKTOR RISIKO HIPERTENSI

Hipertensi dapat dicegah dengan mengendalikan perilaku berisiko seperti merokok, diet yang tidak sehat seperti kurang konsumsi sayur dan buah serta konsumsi gula, garam dan lemak berlebih , obesitas, kurang aktifitas fisik, konsumsi alkohol berlebihan dan stres. Faktor risiko lain yang tidak dapat diubah adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik.

GEJALA HIPERTENSI
Gejala hipertensi itu adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, pusing, jantung berdebar-debar, mudah Ielah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan.

KERUSAKAN ORGAN AKIBAT HIPERTENSI

Kerusakan organ target akibat komplikasi hipertensi akan tergantung kepada besarnya peningkatan tekanan darah dan lamanya kondisi tekanan darah yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Organ-organ tubuh yang menjadi target antara lain otak, mata, jantung, ginjal, dan dapat juga berakibat kepada pembuluh darah arteri perifer.
1. Jantung
Efek utama hipertensi pada jantung berhubungan dengan peningkatan afterload yang harus diatasi jantung saat kontraksi dan perkembangan aterosklerosis pada arteri coroner. Sehingga dapat bermanifestasi pada hipertrofi ventrikel kiri, iskemia dan infark miokard, sampai gagal jantung.
2. Otak (Sistem Serebrovaskular)
Hipertensi merupakan faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi pada stroke yang juga dikenal sebagai cerebrovascular accidents (CVAs). Stroke akibat hipertensi bisa hemoragik. CVAs hemoragik diakibatkan rupturnya mikroaneurisma pada pembuluh darah parenkim cerebral yang diinduksi hipertensi jangka panjang.
3. Aorta dan Pembuluh Darah Perifer
Hipertensi kronis mengakibatkan perkembangan aneurisma terutama pada aorta abdominalis. Aneurisma aorta abdominalis menunjukkan dilatasi prominen dari pembuluh darah, biasanya terletak di bawah arteri renalis. Konsekuensi vascular lain yang mengancam jiwa adalah diseksi aorta. Peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi mempercepat perubahan degenerative pada bagian media aorta. Jika dinding yang sudah lemah ini terpapar tekanan tinggi, lapisan intima akan robek dan darah akan mengalir ke lapisan media aorta dan menyebar ke dalam dinding pembuluh darah, sehingga menjepit dan menumbat cabang pembuluh darah utama di sepanjang area diseksi.
4. Ginjal
Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal karena kerusakan pembuluh darah organ. Secara histologi, dinding pembuluh darah menjadi tebal oleh infiltrasi hialin yang disebut aterosklerosis hialin. Derajat hipertensi yang semakin berat dapat menginduksi hipertrofi otot polos dan nekrosis dinding kapiler yang disebut nekrosis fibrinoid. Perubahan ini menyebabkan penurunan suplai vascular dan atrofi iskemik tubulus dan glomeruli.
5. Retina
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan abnormalitas pada mata yang disebut retinopati hipertensi. Hipertensi berat dengan onset akut dapat memecahkan pembuluh darah retina kecil yang menyebabkan perdarahan, eksudasi lipid plasma, dan area infark lokal.


PENGOBATAN HIPERTENSI

Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup.

Terapi Nonfarmakologis

Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Pengobatan hipertensi yang dapat dilakukan dengan memodifikasi gaya hidup diantaranya yaitu:
1. Penurunan Berat Badan
2. Olahraga
Olah raga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 kali per minggu.
3. Berhenti merokok
4. Istirahat Cukup
5. Kelola Stres
6. Diet
Adapun makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh penderita hipertensi adalah:
  • Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak kelapa, gajih).
  • Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit, crackers, keripik dan makanan kering yang asin). Membatasi asupan garam tidak lebih dari  sendok teh (6 gram/hari)
  • Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta buah-buahan dalam kaleng, soft drink). 
  • Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai kacang). 
  • Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).
  • Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandung garam natrium. 
  • Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.

Terapi Farmakologis

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :
1. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
2. Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3. Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
6. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.


Berikut ini beberapa kelas obat antihipertensi:
  • Diuretik: Thiazide (seperti hidroklorothiazide), diuretic hemat kalium (spironolakton), diuretik loop
  • Simpatolitik: Β-blocker, agonis reseptor α2 sentral, antagonis reseptor α1 perifer
  • Vasodilator: Chalcium channel blocker (CCB)
  • Antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron: ACE-i, Angiotensin II receptor blocker (ARB) 
Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension2013.



Sumber:

  1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. 2015
  2. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. InfoDATIN Hipertensi. 2014
  3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Know Your Number, Kendalikan Tekanan Darahmu dengan CERDIK. 2019
  4. Lilly, Leonard S. Patofisiologi Penyakit Jantung: kolaborasi mahasiswa dan dosen, edisi 6. Jakarta: Medik, 2019

Komentar